Rabu, 16 November 2011

Dilema Antara Ibu dan Istri..

Hampir semua suami pasti pernah merasakan hal ini (kecuali bagi yang ibunya sudah meninggal dunia), terutama pada saat-saat awal pernikahan. Di satu sisi, ibu adalah seorang yang melahirkan, merawat, mendidik dan membesarkan sedangkan di sisi yang lain, istri adalah teman dalam menghabiskan sisa hidup serta ibu dari anak-anaknya. Si Ibu, sudah pasti akan sangat merasakan kehilangan anaknya, yang selama ini telah dirawatnya, dididiknya, disayangi sepenuh hati ke tangan orang lain. Sedangkan untuk si Istri, pastinya dia merasa bahwa sejak dilakukannya ijab qabul (atau pemberkatan/peresmian nikah bagi yang non muslim), si Suami telah menjadi miliknya, dan hanya dialah yang berhak memberikan perhatian lebih kepada pasangannya.

Lalu apa yang seharusnya dilakukan masing-masing untuk mengurangi friksi-friksi yang pasti akan terjadi?

Untuk para suami, hal ini bisa menjadi dilema yang serba sulit. Apalagi jika sebelumnya dia sangat dekat dengan ibunya. Bahkan pilihan untuk tinggal di mana setelah menikah juga merupakan hal yang sulit, karena si Ibu pasti ingin anaknya tetap tinggal bersamanya meskipun telah menikah, sedangkan bagi si Istri tentu saja akan lebih nyaman dan senang jika bisa tinggal terpisah dari mertuanya. Jika tidak memungkinkan untuk tinggal di rumah sendiri, maka tinggal dengan orang tua sendiri akan lebih nyaman dari pada tinggal dengan mertua bagi si Istri. Tentu saja tinggal terpisah dari kedua orang tua dari kedua belah pihak adalah pilihan yang terbaik di antara semua pilihan, tetapi tidak semua orang bisa menyewa atau membeli rumah sebelum menikah kan?

Satu hal yang harus diingat oleh suami adalah jangan pernah membanding-bandingkan si Istri dengan Ibunya. Istri manapun tidak akan pernah suka dibanding-bandingkan seperti itu. Juga sebisa mungkin jangan terlalu memuji Ibunya secara berlebihan di depan si Istri. Ajarkan istri untuk selalu hormat dan patuh kepada orang tua, baik kepada bapak ibunya sendiri maupun kepada bapak dan ibu suami. Berikan contoh yang baik kepada si Istri. Dengan menghormati dan mematuhi orang tua istri, otomatis (jika si Istri memang tahu diri J) si Istri juga akan menghormati dan mematuhi orang tua suami. Perlu diingat, bahwa beda pendapat adalah hal yang paling alami, tetapi meskipun kita beda pendapat cara penyampaiannya tetap harus dengan rasa hormat dan sayang.

Untuk para Ibu yang anaknya telah menikah, perlu diingat bahwa anak yang telah menikah seharusnya sudah terlepas dari tanggung jawab kita. Sebagai orang tua, kita memang tetap wajib untuk mengarahkan dan memberikan nasehat yang baik untuk anak kita, tetapi cukup dalam bentuk masukan dan saran, sedangkan keputusan tetaplah di tangan anak. Bagi orang tua yang tinggal dengan menantunya, sebisa mungkin jangan mencampuri urusan anak, baik dalam hal mengatur rumah, masakan, merawat anak apalagi dalam mengatur keuangan rumah tangga. Dari pengalaman, jika orang tua terlalu mencampuri urusan anak yang sudah menikah, sering berakibat rusaknya rumah tangga si anak. Jauhkan diri juga dari sifat pamrih, karena merasa telah membesarkan dan merawat serta mendidik anak hingga dewasa, maka si anak wajib memberikan balas jasa kepada mereka. Merawat dan membesarkan anak sebagai titipan Tuhan adalah sudah menjadi kewajiban orang tua, bukan sesuatu yang bisa dimintakan balas jasa. Satu lagi yang perlu diingat si Ibu (ataupun si Bapak) bahwa menikahnya anak bukan berarti mereka kehilangan anak, malah sebaliknya anak mereka bertambah dengan anak menantu.

Buat si Istri, menikahi suami berarti juga harus mau menikahi apa yang dipunyai suami, termasuk orang tua dan keluarganya. Bahkan dalam Islam, seorang anak yang sudah menikah, jika dia laki-laki adalah milik Ibunya, sedangkan jika dia perempuan adalah milik suaminya. Meskipun hal ini juga tidak bisa diambil secara semena-mena bahwa istri adalah milik suaminya dan suaminya berhak melakukan apapun terhadap istrinya seperti kata si Ahmad Dhani (Aw, that’s a NO NO, Dear!!!). Seandainya baik si Ibu maupun si Istri membutuhkan barang yang sama pada saat yang bersamaan, dan jika si Suami hanya mampu untuk mendapatkan satu barang saja, maka yang lebih berhak memilikinya adalah si Ibu. Anggaplah orang tua suami seperti orang tua sendiri (memang tidak akan semudah mengucapkannya). Tapi perlahan-lahan pasti hal ini bisa tercapai. Malah di beberapa kasus, istri lebih cocok dengan ibu suami daripada dengan ibu sendiri karena beberapa anak perempuan memang kurang cocok dengan ibunya. Tentu saja hal ini juga bukan contoh yang baik. Yang terbaik adalah bisa bersahabat dengan ibu sendiri maupun ibu mertua.

Satu tips lagi bagi newly-married couple, jika ada sesuatu yang dianggap tidak baik dari pasangan, janganlah mengadu kepada orang tua sendiri, tetapi kepada orang tua pasangan kita. Hal ini untuk menghindari campur tangan orang tua seperti yang telah dibahas di atas. Sudah pasti orang tua akan membela anak kandungnya. Dengan mengadukan pasangan ke orang tuanya diharapkan mereka bisa menasehati si anak untuk menjadi lebih baik. Tentu saja, sekali lagi, mengadukan di sini dengan sewajarnya, tetap sopan dan hormat, tanpa bermaksud untuk menjelek-jelekkan dan dengan niat tulus untuk kebaikan si pasangan.

Semua hal di atas akan dapat tercapai jika didukung oleh sikap ikhlas dalam melakukan segala hal, jauhkan diri dari sikap iri, dengki, pamer, sombong, arogan, serta bekali diri dengan iman dan takwa. Goodluck to ALL THE NEWLY-WED COUPLES!!

Jangan Sampai Dosa Besar Politik TNI/ABRI/POLRI terulang lagi..

Beberapa waktu setelah kerusuhan Mei 1998 yg lalu ABRI sangat gencar memasang spanduk yg bertuliskan “Damai itu indah.” ABRI ingin mengambil hati masyarakat dgn memperlihatkan seolah-olah telah mengambil posisi sebagai penengah dan pereda konflik. Tetapi masyarakat telah mengetahui betul bagaimana posisi dan peran yg dimainkan ABRI selama ini. ABRI telah banyak melakukan dosa-dosa politik. Dari kalangan masyarakat muncul spanduk sebagai jawaban sekaligus kritikan. Spanduk itu bertuliskan “Damai itu indah jika ABRI tidak berpolitik.” Sejarah telah mencatat betapa peran ABRI selama itu telah benar-benar melenceng jauh dari rel yg semestinya. Lemahnya sikap politik ABRI menjadikannya sebagai alat penguasa utk melindungi dan mempertahankan kekuasaanya apalagi kekuasaan saat itu terpusat kepada seorang presiden. Soeharto sebagai Presiden saat itu bak raja yg rakyatnya semua harus tunduk kepada kemauannya. Individu kelompok atau organisasi yg berseberangan dan menentang secara terang-terangan disapu bersih oleh sang penguasa. Tokoh-tokoh Islam yg gigih menentang azas tunggal Pancasila tidak lepas dari bidikannya. Peristiwa Tanjung Priuk adl sejarah yg tidak terlupakan yg dgn kejamnya aparat keamanan membantai tokoh-tokoh Islam yg militan memegang teguh agamanya. Penguasa dan aparat keamanan waktu itu lbh menganakemaskan umat agama yg minoritas daripada umat Islam yg mayoritas. Belum lagi berbagai peristiwa lainnya di berbagai penjuru tanah air bangkitnya rakyat dan berontaknya beberapa wilayah utk memisahkan diri yg didorong oleh ketidakadilan penguasa dalam membagi kue kemerdekaan juga menjadi catatan merah perjalanan politik ABRI krn kebijakannya yg berlebihan di dalam mendukung dan mempertahankan kepentingan penguasa.

Selain itu langkah blunder percaturan politik ABRI yg hanya membela salah satu partai menambah lembaran hitam dalam sejarahnya. ABRI yg seharusnya mengayomi seluruh kelompok masyarakat kenyataannya hanya mengayomi dan mendukung kepentingan partai milik penguasa yaitu GOLKAR. PPP dan PDI benar-benar bagaikan anak tiri yg selalu ditampar dimarahi dan dicaci maki oleh ibu tirinya. Malang nian nasibmu oh anak tiri diusir tidak diakui pun enggan apalagi disayang. Alhasil perjuangan politik tokoh-tokoh Islam yg akan memperjuangkan nilai-nilai Islam terhambat krn mayoritas umat Islam takut memilih partai yg berseberangan dgn kepentingan penguasa.

Kenyataan pahit itu menjadi pengalaman berharga bagi rakyat Indonesia terutama umat Islam yg selama ini dipinggirkan. Dengan jatuhnya rezim Soeharto memasuki orde reformasi ABRI diharapkan mereformasi dirinya agar kembali kepada jati dirinya yg asli. Slogan back to basic jangan hanya menjadi slogan semata tetapi harus direalisasikan. Masyarakat mendambakan kembali saat-saat mesra di kala senang dan sedih bahagia dan menderita hidup bersama dgn harmonis seperti ketika merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Masyarakat menaruh harapan besar akan reformasi itu. Dikuranginya jatah kursi fraksi TNI/POLRI dalam badan legislatif dan terpisahnya POLRI dari tubuh TNI merupakan angin segar sebagai langkah awal yg baik bahwa reformasi itu telah dimulai. Peran politik TNI/POLRI mulai dikurangi. POLRI yg selama ini sangat militer diharapkan mengubah perangainya menjadi aparat sipil yg lbh merakyat. Tergusurnya tokoh-tokoh potensial TNI yg pada masa orde baru dianakemaskan juga menjadi faktor penting menuju reformasi yg lbh cepat.

Belum lama kita menunggu harapan besar itu tiba-tiba kita dikejutkan wacana baru dimungkinkannya TNI/POLRI memiliki hak memilih atau dipilih. Apakah TNI/POLRI akan kembali memperkuat partai milik penguasa? Ada apa di balik munculnya wacana itu? Politikus muslim harus berhati-hati dalam menentukan sikap. Jangan sampai reformasi TNI/POLRI yg selama ini kita harapkan menjadi buyar dan kembali ke suatu keadaan yg tidak menguntungkan kepentingan rakyat terutama perjuangan umat Islam. Karena TNI/POLRI adl dari rakyat oleh rakyat dan utk rakyat maka TNI/POLRI harus berdiri di tengah-tengah rakyat. TNI/POLRI harus mengayomi dan melindungi rakyatnya tanpa membeda-bedakan partai golongan suku ras dan agama. TNI/POLRI yg kita harapkan adl TNI/POLRI yg telah tobat nasuha. TNI/POLRI tidak boleh mengulangi dosa-dosanya seperti yg lalu.

Masyarakat Desa, Penjaga Semangat Gotong Royong..

Dalam Pidatonya, Ir. Soekarno yang lebih kita kenal dengan panggilan Bung Karno, menyampaikan bahwa dasar Indonesia merdeka adalah (1) kebangsaan, (2) internasionalisme, (3) mufakat, (4) kesejahteraan, dan (5) ketuhanan. Dan lima bilangan tersebut dinamakan Pancasila. Sila artinya “asas” atau “dasar”, dan di atas kelima dasar itulah Indonesia berdiri menjadi Negara yang kekal dan abadi.

Pancasila adalah Gotong Royong

Bung Karno menyampaikan, lima sila boleh diperas sehingga tinggal 3 saja, yaitu (1) Sosio-nasionalisme, (2) Sosio-demokrasi, dan (3) Ketuhanan. Dan jika diperas yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah satu perkataan, Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong”. Alangkah hebatnya! Negara Gotong-Royong!
“Gotong-royong” adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”.

Membangun Peradaban Bangsa

Membangun peradaban sebuah bangsa harus dilakukan dengan membangun budi pekerti serta membangkitkan semangat kebersamaan. Seperti yang telah dilakukan oleh para agamawan dan tokoh-tokoh generasi pendiri NKRI. Menurut Bung Karno, Indonesia bila ingin kembali berjaya seperti Sriwijaya dan Majapahit tidak bisa hanya dilakukan oleh satu golongan saja, tetapi harus dilakukan secara bersama oleh semua komponen bangsa dengan melibatkan masyarakat.

Nilai-nilai dasar Pancasila sangat penting untuk selalu dimaknai kembali, karena generasi di masa mendatang belum tentu bisa menghayati Pancasila sebagai perekat dasar yang mempersatukan Indonesia.

Gotong Royong yang sudah Terpinggirkan

Indonesia merdeka karena adanya semangat gotong royong, kebersamaan dan bahu membahu. Setelah reformasi semangat tersebut seperti agak ditinggalkan. Salah satu penyebabnya adalah penggunaan uang atau dana sebagai tolok ukur yang cukup untuk partsipasi dalam kegiatan kemasyarakatan.

Di beberapa desa bahkan secara nyata uang menjadi perusak semangat gotong royong warga desa. Kehadiran dalam sebuah kebersamaan pun terkadang diwakili dengan uang. Tidak hadir ronda cukup bayar denda. Tidak hadir dalam pertemuan cukup titip uang iuran. Tidak ikut kerja bakti cukup memberi sumbangan.

Program pemerintah dengan bantuan beras miskin (raskin) yang kurang tepat sasaran dan dilaksanakan tanpa sebuah kebijaksanaan dalam permusyawaratan telah menjadikan alasan beberapa kelompok masyarakat yang tidak mendapatkan raskin, sedang mereka merasa miskin, akhirnya tidak mau lagi ikut kerja bakti. ”Mereka yang dapat raskin aja yang suruh kerja bakti,” katanya.

Dalam banyak peristiwa terorisme akhir-akhir ini salah satu penyebab tidak berjalannya pengawasan masyarakat adalah sudah mulai lunturnya semangat gorong royong. Dengan kurangnya semangat gotong royong, maka masyarakat menjadi tidak peka terhadap sesuatu yang terjadi di lingkungannya. Gotong royong adalah pola pertahanan terbaik dalam masyarakat, gotong royong mampu menjadi alat komunikasi yang efektif.

Yang masih diharapkan untuk terus menjaga kegotongroyongan adalah masyarakat desa. Semoga desa mampu menjadi penjaga pilar kejayaan Pancasila dengan tetep menjaga semangat kegotongroyongan di dalam kehidupan bermasyarakatnya.

Diskriminasi Itu Masih Ada..

Baru-baru ini rekan kantor saya menerima sms yang berisikan ajakan boikot terhadap salah satu Rumah Sakit ternama di bilangan Bekasi, Jawa Barat. Adapun sumber permasalahannya adalah pemecatan seorang karyawati bernama Wine 26 tahun yang bekerja di RS yang berinisial MK bagian Fisioterapi. Alasan pemecatan menurut Wine karena pihak manajemen RS tersebut melarangnya menggunakan busana muslim kertika dirinya bekerja. Masalah inipun sampai ke Komisi D DPRD Bekasi yang akhirnya memanggil pihak manajemen RS tersebut mempertanyakan perihal kasus pelarangan ini. Sungguh sangat disayangkan karena kok sampai detik ini perlakuan diskriminasi tersebut masih ada.

Pihak Manajemen RS sendiri mengklaim tidak terjadi pemecatan terhadap Wine, tapi menyatakan yang terjadi adalah Wine mengundurkan diri. Dari Wine seniri menyatakan dia mengundurkan diri karena terpaksa diakibatkan pelarangan dari pihak Manajemen Rumah Sakit itu sendiri. Kalau melihat kasus tersebut, kita bisa bijak melihat mana yang benar dan mana yang salah. Tentunya tidak akan ada asap kalau tidak ada api dan selalu pihak yang lemahlah selalu dirugikan baik secara materiil (kehilangan pekerjaaannya) dan moril (hak asasinya dalam berjilbab)

Balasanpun terjadi pula terhadap Rumah Sakit tersebut yang nantinya bisa jadi akan membawa dampak kerugian besar bagi Rumah Sakit bersangkutan. SMS berantai yang beredar telah mengajak penerima sms untuk memboikot RS tersebut dan menyebarkan kembali sms tersebut sebanyak-banyaknya kepada yang dikenalnya. Entah siapa yang pertama kali menyebarkannya, tapi yang pasti bukan dari Mbak Wine sendiri, karena dalam bagian terakhir sms itu diberikan sumber beritanya dari salah satu koran terkenal edisi 31 Oktober 2008 yang berjudul Pemecatan Perawat Berjilbab Diminta Dicabut.

Saat hampir di seluruh negara-negara di belahan bumi ini mulai menghilangkan diskriminasi terhadap wanita muslim berjilbab, bahkan dalam even pertandingan/perlombaan olahraga tingkat internasionalpun sudah tidak mempermasalahkan atlet berjilbab, sungguh ironis di tanah air kita masih terdapat perlakuan diskriminasi terhadap kaum perempuan muslim ini. Saya jadi teringat di awal-awal tahun 1990an, di mana kasus-kasus seperti ini masih marak terjadi di tanah air ini. Setelah berjuang berat dan sekuat mungkin dmuslimah di negeri ini akhirnya bisa bernapas lega, karena pelarangan-pelarangan tersebut sudah mulai hilang dan sudah diatur dalam undang-undang negara ini. Maka sangat disesalkan ternyata kasus ini masih ada di negeri ini, dengan tanpa tanpa bermaksud menyinggung SARA maupun mendiskreditkan umat tertentu. Marilah kita hilangkan diskriminasi seperti ini tidak hanya untuk kaum minoritas tapi juga untuk kaum mayoritas.

Apakah Kita Sosok Pemuda Harapan Bangsa???

Sumpah Pemuda adalah momen penting bagi perubahan bangsa Indonesia. Generasi muda saat itu menjadi pelopor persatuan nasional dalam simbol tanah air, kebangsaan, dan bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda. Sejarah bangsa ini selalu diwarnai oleh pemuda sebagai komponen utama. Pemuda memiliki semangat tinggi untuk melakukan perubahan. Energi positif itu terpancar ketika mereka melihat suatu kejanggalan pada bumi pertiwi. Pola pikir dan daya analisis yang tinggi terhadap masalah bangsa membuat mereka merasa terpanggil untuk melakukan percepatan perbaikan tanah air menuju ke arah yang lebih baik. Lalu, melihat realita sosial saat ini, apa yang bisa mereka lakukan?. Persaingan global yang semakin panas ditambah pesatnya perkembangan dunia teknologi membuat ekonomi kita semakin jauh tertinggal. Tayangan televisi yang tidak mendidik justru semakin marak disiarkan. Banyak generasi muda kita yang terjerumus ke dalam lembah kebodohan hanya karena tidak mampu memilah tayangan yang pantas ditonton.

Melihat kenyataan yang terjadi saat ini, maka dibutuhkan sosok pemuda yang dapat melakukan akselerasi perbaikan bangsa. Akselerasi tersebut dapat terwujud melalui tindakan nyata dan peran yang dapat mereka berikan. Lalu, peran seperti apakah yang dapat membawa kita menuju ke gerbang kesejahteraan ?. Tidak adanya ekonom brilian yang bergerak bersama di negeri ini untuk dapat memahami, mencerna dan menemukan jalan keluar bagi krisis ekonomi merupakan salah satu penyebab kemunduran bumi pertiwi. Begitu juga dimensi-dimensi lain dimana masing-masing pribadi bergerak sendiri untuk memenuhi kebutuhan dan keuntungan pribadi. Mereka memang manusia-manusia brilian dan jenius tetapi seperti lidi yang berserakan, tidak terorganisasi menjadi kekuatan bangsa di bawah sebuah kepemimpinan yang solid. Kepemimpinan yang kuat dan baik tidaklah menjamin semua kesulitan kita selesai, tapi kepemimpinan yang kuat dan baik memastikan bahwa semua solusi strategis dan teknis yang kita rumuskan dapat bekerja secara benar dan efektif. Tapi, itu pulalah yang menjadi kunci masalah dimana semua berakar dari sana : krisis akhlak dan kepemimpinan.

Jika kita menyusuri sejarah bangsa ini, kita akan bertemu generasi 1900-an yang mempelopori kebangkitan nasional dengan terbentuknya Boedi Oetomo sebagai organisasi yang boleh dikatakan sebagai titik awal terbentuknya organisasi yang bersifat nasional. Dilanjutkan dengan perjuangan generasi 1928 yang berhasil mempelopori persatuan nasional melalui Sumpah Pemuda. Lalu, kita akan bertemu dengan generasi 1945 yang mempelopori perjuangan kemerdekaan dan generasi 1966 yang berhasil mengakhiri rezim Orde Lama. Semua angkatan itu silih berganti sampai datang angkatan 1998 yang mampu menumbangkan rezim Orde Baru. rangkaian sejarah ini membuktikan bahwa peran pemuda sangat dinantikan untuk percepatan perbaikan bangsa. Mereka bersatu dengan meluruskan akhlak dan niat untuk menuju perbaikan Indonesia. Mereka bergerak di bawah kepemimpinan yang jelas dan terarah. Mereka bersatu padu seperti seikat sapu lidi yang mampu membersihkan sampah-sampah yang berserakan.

Indonesia membutuhkan peran kita saat ini. Kita sebagai mahasiswa misalnya, menjadi profesional di bidang kita adalah salah satu cara yang paling efektif. Berkumpul bersama dengan pemuda lain yang memiliki visi searah lalu kita membentuk sebuah gerakan nonanarkis yang tersusun secara rapih. Lalu kita berusaha menuju ke sektor-sektor penting yang menjadi pusat pengambil keputusan atau sektor yang menguasai hayat hidup bangsa ini. Kita bergerak bersama dengan tujuan untuk memperbaiki bangsa ini. Kita bergerak dibawah arahan yang jelas. Karena itu kita butuh pemimpin yang mampu menjalankan fungsi pembangkit kekompakan agar pergerakan kita tidak mengalami perpecahan intern. Selain itu, kita butuh integritas akhlak dan kepribadian. Sikap-sikap ini dapat dilatih dengan cara aktif di organisasi seputar kampus atau lingkungan masyarakat. Banyak ilmu yang dapat ditimba di sana. Pendewasaan pikiran, peningkatan daya analisis, dan kemampuan untuk bekerja dalam tim dapat kita peroleh. Semakin strategis jabatan dalam organisasi maka semakin banyak hal yang dapat diperoleh untuk pengembangan diri dan wawasan.

Pemuda adalah harapan bangsa. Kelak mereka yang akan menahkodai bangsa ini. Semua tergantung dari seberapa besar pengorbanan yang akan mereka persembahkan. Kita hanya bisa berharap semoga mereka mampu memaksimalkan kinerja mereka masing-masing untuk memajukan bangsa ini.

Prasangka Buruk, Penyakit Orang Indonesia..?

Salah satu penyakit lain dari kebanyakan orang Indonesia adalah cenderung mempunyai prasangka buruk. Prasangka buruk ini biasanya disangkakan pada orang yang mempunyai prestasi yang lebih, apakah itu lebih kaya, lebih pintar, atau pun lebih berkuasa. Prasangka buruk merupakan penyakit hati yang seharusnya disingkirkan dari hati bangsa Indonesia.

Prasangka buruk merupakan manifestasi dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu. Misalkan begini, dalam lomba lari, pasti ada pemenangnya yang sudah berhasil merenggut prestasi karena berlari lebih cepat dari lawan-lawannya. Seharusnya peserta lari lain yang belum berhasil memenangkan pertandingan lari, bersikap sportif dan menerima kekalahan dengan lapang dada. Tetapi, jamak di Indonesia, bahwa peserta yang kalah tersebut susah sekali untuk bersikap sportif, tetapi justru memunculkan penyakit prasangka buruk terhadap sang pemenang. Prasangka buruk ini biasanya disertai dengan tuduhan-tuduhan yang sering kali tidak berdasar. Apakah itu berupa tuduhan kecurangan, wasitnya tidak adil, menggunakan obat doping, bahkan kadang-kadang di luar nalar seperti pemenang tersebut menggunakan jasa jin atau makhluk halus.

Dengan terus dibebani prasangka buruk, maka hati kita menjadi hitam karena terus menerus dilanda kemarahan yang tak keruan juntrungannya. Dengan perasaan marah dan prasangka buruk yang terus menerus, akhirnya menimbulkan kinerja yang tidak produktif. Lambat laun, prestasi atau kinerja yang dilakukan pun semakin lama semakin terpuruk.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menguasai perasaannya untuk selalu bersikap sportif, menerima kekalahan dan selalu mencoba mengedepankan prasangka baik. Jika prasangka buruk ini terus-menerus ditonjolkan, lambat laun akan memicu penyakit kejiwaan yaitu berupa perasaan ketakutan atas segala sesuatu, atau sering disebut sebagai paranoid. Perasaan prasangka buruk juga menimbulkan ketakutan yang berlebihan, yang dalam psikiatri dinamakan schizoprenia.

Dengan terus melakukan prasangka buruk, tentunya bila dibiarkan, bangsa Indonesia akan berat sekali untuk menjadi bangsa yang besar. Karena yang dominan dalam pikiran adalah prasangka-prasangka buruk yang berlebihan. Padahal, hal tersebut barulah merupakan sebuah prasangka atau tuduhan yang sering tidak jelas dan tidak mendasar.

Prasangka buruk terhebat yang sekarang melanda Indonesia, adalah prasangka buruk terhadap pemimpin bangsa ini, yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mengherankan memang, meski pun SBY berhasil mendapatkan kemenangan demokrasi selama dua periode, bahkan dengan jumlah suara yang sangat signifikan. Namun demikian, tetap saja tuduhan-tuduhan mengalir deras, apakah itu berupa ketidaktegasan, kecepatan membuat keputusan, bahkan sampai hal-hal lain yang remeh temeh.

Presiden SBY seakan menjadi sasaran tembak dari prasangka buruk masyarakat. Presiden dicitrakan sebagai seseorang yang ma’sum alias bebas dari kesalahan. Padahal sebagai manusia, meski pun menjadi pemimpin negara, tidak akan lepas dari kesalahan. Dengan demikian, masyarakat selalu mengharapkan bahwa SBY memenuhi kehendaknya. Apabila tidak, maka SBY diprasangkakan sudah melakukan kesalahan dan terus dihujat.

Target prasangka buruk masyarakat, tidak hanya ditujukan pada Presiden SBY, tetapi juga ditujukan pada pihak-pihak lain yang dianggap berhasil. Apabila ada pengusaha yang sukses, apalagi di tataran nasional, maka tuduhan pertama adalah kolusi atau kongkalingkon, meski pun belum ada bukti kebenarannya. Apabila ada tetangga yang kaya, maka biasanya dituduh memelihara jin atau tuyul, melakukan korupsi, atau pun melakukan kejahatan. Padahal biasanya, tuduhan itu muncul sebagai rumor atau gosip saja.

Jika memang petuduh (orang yang dituduh) itu benar-benar melakukan kejahatan, memang seharusnya diselesaikan di ranah hukum. Tetapi yang biasanya terjadi, meski pun tidak sampai ada keputusan hukum, tuduhan dan prasangka buruk tetap dianggap sebagai suatu “kebenaran”.

Padahal, berprasangka baik akan sangat kondusif untuk kemajuan bangsa ini. Bangsa ini seperti seorang anak, yang apabila selalu diberikan prasangka baik serta diberikan motivasi sertai penilaian yang baik. Anak tersebut akan berkembang menjadi orang yang baik. Tetapi bila sang anak itu terus menerus dituduh dan disangkakan keburukan terus menerus, lambat laun sang anak ini pun menjelma menjadi seorang anak yang berjiwa buruk.

Apakah kita akan membiarkan penyakit prasangka buruk ini terus menerus melanda bangsa Indonesia? Ataukah kita akan berusaha mencoba selalu mengedepankan prasangka baik, demi untuk kebaikan bangsa kita. Semua perubahan ada di hati kita.

Pemberian Handphone Kepada TKI Oleh Pemerintah..

Kasus-kasus kekerasan terhadap TKI, bahkan yang berujung pada kematian, masih terus terjadi. Agar memudahkan pelaporan TKI jika mendapat perlakuan yang tidak adil dan tidak baik, mereka pun difasilitasi handphone (HP) skerang ini oleh pemerintah. Dengan pemberian HP tersebut para TKI dapat melapor bila terjadi perlakuan kasar yang dilakukan oleh majikannya, tetapi pembagian HP tersebut masih belum merata kepada seluruh TKI. Anehnya kenapa tindakan seperti ini baru dilakukan sekarang setelah banyak korban. Padahal sudah dari dulu terjadi tindak kekerasan kepada TKI tapi pemerintah terlihat tenang-tenang saja dan tidak terlalu memperhatikan masalah tersebut, sepertinya cukup dengan pemberitaan beberapa kali dan pemberian santunan semua masalah itu beres.

Lalu sekarang tindakan pemberian HP tersebut apakah tindakan yang efektif dan dapat menghentikan tindak kekerasan terhadapa TKI? Saya rasa tidak bagaimana bila HP tersebut dirampas oleh majikannya biarpun pemerintah sudah menetapkan peraturan bahwa HP tersebut tidak boleh diambil apalagi dirampas oleh majikannya. Sapa yang tahu bila itu terjadi apakah kita dapat memantau terus apa yang terjadi pada TKI tersebut hingga tahu pasti bahwa HP tersebut tidak dirampas. Ada lebih baiknya jika pemerintah melakukan tindakan mengadakan pengecekan setiap beberapa kepada tempat TKI tersebut bekerja. Petugas pemeriksa tersebut harusalah orang dari pemerintah Indonesia jangan dari negara tempat TKI itu bekerja karena bisa saja bekerja sama dengan majikan TKI tersebut atau ada kongkalingkong. Petugas pemeriksa tersebut harusalah orang yang bersih tidak menerima sogokan dan haruslah orang yang bisa dipercaya dan memastikan bahwa TKI yang dia cek aman dan tidak mengalami kekerasan fisik apapun. Sehingga dengan tindakan seperti itu dapat dipastikan bahwa TKI aman.

TKI pun jika ingin bekerja menjadi TKI harus mendaftar kepada lembaga pemerintah yang bisa memberi pertanggung jawabannya dengan keselamatan mereka dan berbadan hukum. Lembaga tersebut harus mendaftarkan TKI mereka dengan detail sehingga petugas pemeriksa tersebut dapat dengan mudah memeriksa keberadaan TKI tersebut, sehingga mungkin dengan tindakan seperti ini dapat memperkecil TKI yang mengalami tindak kekerasan.